Legal Opinion tentang Legalitas dan Proporsionalitas Sanksi Etik terhadap Ahmad Sahroni dan Anggota DPR Lain oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI

 

Pendapat Hukum (Legal Opinion)

Tentang Legalitas dan Proporsionalitas Sanksi Etik terhadap Ahmad Sahroni dan Anggota DPR Lain oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI

Pertimbangan: 
  1. Bahwa pendapat hukum (Legal Opinion) ini disusun berdasarkan informasi dan data yang bersumber dari pemberitaan publik serta asumsi bahwa seluruh keterangan yang dimuat di dalamnya adalah benar dan dapat dipercaya.
  2. Bahwa pendapat hukum ini diberikan berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan atau diterapkan menurut ketentuan hukum negara lain. 
  3. Bahwa pendapat hukum ini bersifat umum dan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti di muka pengadilan maupun sebagai nasihat hukum yang mengikat.

I. Posisi Kasus

    Dalam pemberitaan dijelaskan bahwa Ahmad Sahroni dkk, anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, tengah menghadapi sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR. Dugaan pelanggaran ini berawal dari adanya pernyataan dan sikap di ruang publik yang dinilai bertentangan dengan Kode Etik DPR RI, karena dianggap tidak pantas dan berpotensi mencoreng kehormatan lembaga legislatif.
 
    Sidang etik MKD ini dilakukan untuk menilai apakah tindakan para anggota DPR tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar etika yang diatur, antara lain menjaga martabat dan kehormatan Dewan, menjunjung tinggi kejujuran dan integritas, serta tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.

    Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan tokoh politik aktif dan dapat berimplikasi pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat.

II. Dasar Hukum

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) 
Pasal 119 ayat (2): DPR membentuk Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat DPR serta anggotanya.

    Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3 
Pasal l22A: MKD berwenang melakukan memeriksa dan memutus perkara pelanggaran kode etik DPR; 

    Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik DPR RI
Pasal 1 ayat (10): Kode Etik DPR adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.

Pasal 3: Anggota DPR harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

    Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan 
Mengatur prosedur pemeriksaan, pemanggilan, dan penjatuhan sanksi terhadap anggota DPR yang terbukti melanggar kode etik.

Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam penyelenggaraan kekuasaan publik.

III. Analisis Hukum    

    Secara yuridis, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memiliki kewenangan konstitusional dan legal untuk memeriksa serta memutus dugaan pelanggaran Kode Etik DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 119 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan ditegaskan kembali dalam Pasal 122A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU MD3.

    Kewenangan tersebut memberikan dasar hukum yang kuat bagi MKD untuk memeriksa Ahmad Sahroni dkk atas dugaan pelanggaran kode etik yang dianggap mencoreng kehormatan dan citra DPR RI. Proses ini bukan merupakan proses pidana, melainkan proses etik dan disipliner yang bersifat internal untuk menjaga integritas lembaga legislatif.

    Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) dan Pasal 3 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik DPR RI, setiap anggota DPR wajib menjaga kehormatan, martabat, dan citra lembaga, serta dilarang melakukan tindakan yang dapat dianggap tidak pantas atau tidak patut menurut norma masyarakat. Oleh karena itu, setiap pernyataan publik atau sikap anggota DPR yang berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap lembaga DPR dapat diperiksa melalui mekanisme etik MKD.

Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa penjatuhan sanksi harus didasarkan pada tingkat kesalahan dan dampak perbuatan sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Beracara MKD. MKD wajib membuktikan bahwa tindakan Sahroni dkk memenuhi unsur pelanggaran kode etik yang bersifat berat, yaitu:

  1. dilakukan dengan kesengajaan,

  2. menimbulkan dampak signifikan terhadap kehormatan DPR, dan

  3. bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan etika publik.

Apabila tindakan tersebut hanya berupa pernyataan yang tidak etis secara sosial tetapi tidak menimbulkan akibat serius bagi lembaga DPR, maka berdasarkan asas proporsionalitas yang menjadi bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), MKD seharusnya menjatuhkan sanksi ringan seperti teguran lisan atau tertulis, bukan pemberhentian sementara atau pencabutan hak keuangan.

Selain itu, MKD wajib menjalankan prosedur pemeriksaan secara transparan dan menjamin hak pembelaan diri bagi anggota DPR yang diperiksa, sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini mencakup:

  • Pemanggilan yang sah kepada teradu,

  • Kesempatan menyampaikan pembelaan,

  • Pemeriksaan saksi atau ahli, dan

  • Putusan yang dibacakan secara terbuka.

Ketaatan pada prosedur ini menjadi indikator bahwa putusan MKD memiliki legitimasi hukum dan etika, serta selaras dengan prinsip due process of law.

Dari segi hukum tata negara, proses penegakan kode etik melalui MKD merupakan pengawasan internal lembaga legislatif yang bersifat otonom dan merupakan bentuk akuntabilitas politik DPR kepada publik. Dengan demikian, tindakan MKD dalam memeriksa Sahroni dkk adalah sah secara hukum, selama dijalankan sesuai prosedur dan dengan sanksi yang proporsional terhadap tingkat pelanggaran yang dilakukan.

IV. Kesimpulan

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memiliki dasar kewenangan yang sah untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 119 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 serta Pasal 122A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018. Proses yang dijalankan MKD merupakan mekanisme etik internal yang bertujuan menjaga kehormatan dan citra lembaga DPR RI, bukan proses pidana yang menimbulkan akibat hukum dalam ranah peradilan umum. Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik DPR RI, setiap anggota DPR wajib menjaga martabat, integritas, dan kehormatan lembaga, serta dilarang melakukan tindakan yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap DPR. Oleh karena itu, tindakan Ahmad Sahroni dkk yang dinilai tidak pantas di ruang publik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik apabila terbukti bertentangan dengan norma kepatutan sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut. 
 
    Namun demikian, dalam menjatuhkan sanksi, MKD wajib menerapkan prinsip proporsionalitas, yakni menyesuaikan tingkat sanksi dengan berat-ringannya pelanggaran dan dampaknya terhadap lembaga. Sanksi berat seperti pemberhentian sementara hanya dapat dibenarkan apabila perbuatan terbukti memiliki dampak serius terhadap kehormatan DPR. Selain itu, MKD harus menjamin hak pembelaan diri dan transparansi proses pemeriksaan sesuai Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Beracara MKD, agar putusan yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan subjektif atau politis. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa proses pemeriksaan terhadap Ahmad Sahroni dkk merupakan langkah yang sah secara hukum dan konstitusional, sepanjang dilaksanakan sesuai prosedur dan disertai dengan sanksi yang adil, proporsional, serta menghormati asas-asas umum pemerintahan yang baik.


 

Komentar